Sabtu, 13 Februari 2010

Bersahabat Dengan Remaja

Komunikasi antara orangtua dan anak remajanya sesungguhnya sama saja dengan bentuk komunikasi lain dimanapun di dunia ini. Punya tujuan membangun sebuah hubungan yang harmonis, lewat upaya saling dengar dan saling bicara.
Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Kebanyakan orangtua (dan sebaliknya, remaja) merasa hubungan diantara mereka bagaikan hubungan minyak dan air yang menyatu dalam sebuah wadah. Saling berpisah satu sama lain, seolah mereka berada di belahan kutub yang berbeda.
Orangtua tentu saja berkeras bahwa dirinya sudah melakukan hal-hal yang terbaik dalam membangun hubungan dengan si remaja. Namun, sang anak tetap terasa jauh dan tak terjangkau. Tak heran, perkembangan selanjutnya berujung pada dua kalimat. “Anakku tak mau mendengarkan aku,” serta “(Ayah) Ibu tak mau memahami aku.”
Sebagian orangtua mengatakan sudah cukup berusaha untuk memahami tingkah dan polah remaja mereka. Namun, mereka masih kerap mengeluh tak juga kunjung mengerti ‘isi hati’ mereka. Sang remaja pun mempunyai pikiran berupa, “semua orang bisa mengerti aku, kecuali (ayah) ibu!!”

Beberapa cara dari beberapa psikolog untuk menghindari terjadinya hal-hal seperti itu, antara lain:
Bersahabat sejak dini
Indri Savitri, Psi, menegaskan bahwa kesuksesan orangtua berkomunikasi dengan remaja ditentukan sejak dini. Sahabat adalah tempat seseorang dapat menceritakan persoalan secara aman dan ditanggapi dengan nyaman. Kalau orangtua mau menjadi sahabat buat anaknya, orangtua pun harus siap memperlakukan dan menerima kapanpun anaknya ingin curhat, dan meyakinkan si anak bahwa semua curhatnya aman di “tangan” kita. Tentu saja cara pandang ini tak perlu menghilangkan sopan-santun anak kepada orangtua, seperti memanggil panggilan Bapak-Ibu menjadi nama saja. “Menjadi sahabat, bukan berarti membiarkan remaja hidup tanpa aturan. Orangtua tetap harus tegas saat anak remaja melanggar aturan.” Tekan psikolog lulusan Universitas Indonesia.

Mau memperbaiki diri
Kegagalan orangtua menjadi sahabat bagi para remaja umumnya karena kesalahn orangtua dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, orangtua harus menjadi orang pertama yang harus berubah agar terbanun komunikasi yang harmonis antara orangtua dan remaja.
Elly Risman Musa, Psi, Kegagalan komunikasi ini terjadi karena umumnya orangtua merasa dirinya lebih tahu, sehingga lebih banyak bicara daripada mendengar, banyak member arahan dan nasihat.
Orangtua cenderung tidak berusaha mendengarkan apa yang dialami anak, tidak memberi kesempatan agar remaja mengemukakan pendapat, tidak dapat menerima dahulu kenyataan yang dialami anak dan memahaminya, bahkan seringkali merasa putus asa dan marah-marah karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan terhadap remajanya.
Kunci pokok dalam berkomunikasi dengan remaja, jelas Elly hanya tiga, yaitu: Mendengar supaya remaja mau bicara, menerima dahulu perasaan remaja, bicara supaya didengar. Orangtua sebaiknya ‘mengenal diri sendiri’. Agar orangtua bias menerima diri apa adanya, sehingga tahu apa yang harus diubah.

Bisa saling curhat
Sebagai seorang sahabat, anak pun dapat merasakan saat orangtuanya memiliki masalah. Kemampuan untuk merasakan perasaan ini terus berkembang sesuai dengan usia anak.
Bersahabat berarti saling terbuka. Buakan hanya anak yang dapat curhat kepada orangtua. Namun orangtua pun dapat curhat kepada anaknya. Misalnya, “Mama lagi Bete nih karena kamu kamu bangunnya kesiangan terus.” Atau “Mama lagi bahagia nih karena sahabat lama mama di SD dulu baru nelfon dan memberikan hadiah untuk mama.”
Dengan membangun suasana penuh persahabatan seperti ini, maka anak akan merasa bahwa pelabuhan hatinya yang pertama kali saat ia merasa bahagia maupun berduka adalah di rumahnya, bersama orangtuanya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Riska Ayudya Pratiwi. Design By: SkinCorner