Sabtu, 13 Februari 2010

Peran Orangtua Dalam Membina Anak dan Remaja

PERAN ORANG TUA DALAM MEMBINA ANAK DAN REMAJA
Tujuh ciri orang tua bertanggung jawab
1. Kekuatan, orang tua hendaknya punya kekuatan untuk tidak tergantung pada anaknya sebelum anak itu cukup dewasa. Memiliki kekuatan emosional untuk bias memberikan limpahan kasih saying. Memiliki tenaga jasmani untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orang tua.
2. Kepekaan untuk menangkap kebutuhan anaknya, orang tua tidak membutuhkan buku atau aturan tapi tidak cukup menggunakan naluri yang kita miliki. Orang tua juga harus peka dengan kebutuhan mereka sendiri.
3. Rasa social, orang tua hendaknya mudah didekati dan ramah. Mereka senang jika anaknya melakukan hubungan dengan orang dari segala lapisan dan segala usia. Rumah mereka terbuka, sehingga para tamu termsuk teman-teman anak mereka merasa santai dan disambut hangat.
4. Keterampilan, orang tua ini sangat terampil secara social, mereka tahu bagaimana berbicara dengan baik, tegas, dan mengendalikan perasaan. Mereka senang berbagi pengetahuan dan keterampilan dengan anaknya dan terbuka pada sesuatau yang baru
5. Dorongan, memberikan dukungan penuh untuk mengarahkan anak-anaknya ke berbagai kegiatan yang menantang dan menarik.
6. Keseimbangan, orang tua bias mengatur hidupnya dengan terencana. Pengeluaran tidak melampaui batas. Mencoba untuk memenuhi kebutuhan pokok anak-anaknya sehingga anak-anaknya dapat terdidik dengan baik.
7. Kesuksesan-kesuksesan ada di tangan orang tua. Ini dapat dicapai jika orang tua punya tujuan yang jelas. Langkah-langkah yang diambil tegas dan tidak bingung dengan berbagai godaan dan tantangan hidup.

Sumber : Makalah ‘membangun komunikasi harmonis orangtua-remaja’, Hj Elly Risman Musa, Psi.

Bersahabat Dengan Remaja

Komunikasi antara orangtua dan anak remajanya sesungguhnya sama saja dengan bentuk komunikasi lain dimanapun di dunia ini. Punya tujuan membangun sebuah hubungan yang harmonis, lewat upaya saling dengar dan saling bicara.
Sayangnya, kenyataan berbicara lain. Kebanyakan orangtua (dan sebaliknya, remaja) merasa hubungan diantara mereka bagaikan hubungan minyak dan air yang menyatu dalam sebuah wadah. Saling berpisah satu sama lain, seolah mereka berada di belahan kutub yang berbeda.
Orangtua tentu saja berkeras bahwa dirinya sudah melakukan hal-hal yang terbaik dalam membangun hubungan dengan si remaja. Namun, sang anak tetap terasa jauh dan tak terjangkau. Tak heran, perkembangan selanjutnya berujung pada dua kalimat. “Anakku tak mau mendengarkan aku,” serta “(Ayah) Ibu tak mau memahami aku.”
Sebagian orangtua mengatakan sudah cukup berusaha untuk memahami tingkah dan polah remaja mereka. Namun, mereka masih kerap mengeluh tak juga kunjung mengerti ‘isi hati’ mereka. Sang remaja pun mempunyai pikiran berupa, “semua orang bisa mengerti aku, kecuali (ayah) ibu!!”

Beberapa cara dari beberapa psikolog untuk menghindari terjadinya hal-hal seperti itu, antara lain:
Bersahabat sejak dini
Indri Savitri, Psi, menegaskan bahwa kesuksesan orangtua berkomunikasi dengan remaja ditentukan sejak dini. Sahabat adalah tempat seseorang dapat menceritakan persoalan secara aman dan ditanggapi dengan nyaman. Kalau orangtua mau menjadi sahabat buat anaknya, orangtua pun harus siap memperlakukan dan menerima kapanpun anaknya ingin curhat, dan meyakinkan si anak bahwa semua curhatnya aman di “tangan” kita. Tentu saja cara pandang ini tak perlu menghilangkan sopan-santun anak kepada orangtua, seperti memanggil panggilan Bapak-Ibu menjadi nama saja. “Menjadi sahabat, bukan berarti membiarkan remaja hidup tanpa aturan. Orangtua tetap harus tegas saat anak remaja melanggar aturan.” Tekan psikolog lulusan Universitas Indonesia.

Mau memperbaiki diri
Kegagalan orangtua menjadi sahabat bagi para remaja umumnya karena kesalahn orangtua dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, orangtua harus menjadi orang pertama yang harus berubah agar terbanun komunikasi yang harmonis antara orangtua dan remaja.
Elly Risman Musa, Psi, Kegagalan komunikasi ini terjadi karena umumnya orangtua merasa dirinya lebih tahu, sehingga lebih banyak bicara daripada mendengar, banyak member arahan dan nasihat.
Orangtua cenderung tidak berusaha mendengarkan apa yang dialami anak, tidak memberi kesempatan agar remaja mengemukakan pendapat, tidak dapat menerima dahulu kenyataan yang dialami anak dan memahaminya, bahkan seringkali merasa putus asa dan marah-marah karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan terhadap remajanya.
Kunci pokok dalam berkomunikasi dengan remaja, jelas Elly hanya tiga, yaitu: Mendengar supaya remaja mau bicara, menerima dahulu perasaan remaja, bicara supaya didengar. Orangtua sebaiknya ‘mengenal diri sendiri’. Agar orangtua bias menerima diri apa adanya, sehingga tahu apa yang harus diubah.

Bisa saling curhat
Sebagai seorang sahabat, anak pun dapat merasakan saat orangtuanya memiliki masalah. Kemampuan untuk merasakan perasaan ini terus berkembang sesuai dengan usia anak.
Bersahabat berarti saling terbuka. Buakan hanya anak yang dapat curhat kepada orangtua. Namun orangtua pun dapat curhat kepada anaknya. Misalnya, “Mama lagi Bete nih karena kamu kamu bangunnya kesiangan terus.” Atau “Mama lagi bahagia nih karena sahabat lama mama di SD dulu baru nelfon dan memberikan hadiah untuk mama.”
Dengan membangun suasana penuh persahabatan seperti ini, maka anak akan merasa bahwa pelabuhan hatinya yang pertama kali saat ia merasa bahagia maupun berduka adalah di rumahnya, bersama orangtuanya.

Kepribadian Seseorang

Masa ini adalah masa dimana orang2 berkepribadian ekstrovert disanjung2 n berkepribadian ekstrovert itu sendiri dianggap baik. Mereka yang ekstrovert dipandang sebagai orang2 yg mampu bersosialisasi dengan baik, luwes, fleksibel n memiliki kepribadian yang menawan. Sementara mereka yang introvert dipandang buruk, canggung, dan tidak memiliki kemampuan bersosialisasi.

Namun benarkah bahwa menjadi orang yang introvert adalah buruk dan menjadi orang yang ekstrovert adalah baik?

Orang yang pertama kali mengemukakan ttg introvert n ekstrovert ini adalah Carl Gustav Jung, seorang psikoanalisis yang menjadi kawan sekaligus murid Sigmund Freud. Dan coba tebak kepribadian manakah menurut Jung yang terbaik?

Introvert.

Bukan ekstrovert.

Menurut Jung, orang2 introvert adalah mereka yg terampil dalam melakukan perjalanan ke dunia dalam, yaitu diri mereka sendiri. Mereka selalu mencoba memahami diri mereka sendiri dengan melakukan banyak perenungan dan berkontemplasi. Pada akhirnya mereka menjadi orang yang memahami dirinya, berpendirian keras, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, dan mengetahui apa yang menjadi tujuan dalam hidupnya.

Namun mereka yg introvert seringkali terlalu disibukkan dengan dirinya sendiri, kurang peka terhadap lingkungannya dan akhirnya lingkungannya juga tidak dapat menerima mereka yg introvert dengan baik. Mereka tau apa yg mereka mau namun sulit untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain. Hal ini membuat mereka yang introvert seringkali dicap sebagai orang aneh.

Sementara itu mereka yg ekstrovert terampil dalam melakukan perjalanan ke dunia luar. Mereka dengan luwes dapat berinteraksi dengan banyak orang. Membuat orang lain terkagum-kagum n menyukainya. Namun semua ini dilakukan dengan mengorbankan dirinya sendiri. Mereka sering terpaksa mengorbankan kepribadiannya sendiri agar dapat diterima oleh orang banyak. Singkatnya, mereka yang ekstrovert n mudah bergaul biasanya adalah orang yang sering berganti-ganti dalam menggunakan personanya.

Persona, dari bahasa Yunani yang berarti topeng. Dalam psikologi, persona sering diidentikkan dengan kepribadian. Dari kata persona ini juga muncul kata ”personality” dan ”person”. Kita menggunakan topeng seorang murid saat kita berhadapan dengan guru. Menggunakan topeng orang sholeh saat berhadapan dengan ustadz. Menggunakan topeng seram saat berhadapan dengan musuh. Dan begitu seterusnya dalam hidup kita, terus berganti-ganti topeng.

Permasalahannya adalah orang2 yg ekstrovert lebih sering berganti topeng. Akhirnya dirinya tidak lagi memahami siapa dirinya yang sebenarnya. Makanya tidak mengherankan apabila kita sering menemui orang yg gaul, bintang film, memiliki banyak teman, seakan-akan memiliki hidup yang sempurna, namun pada kenyataannya dia merasa tidak bahagia dengan hidupnya. Terlihat kuat namun sebenarnya sangat lemah secara mental. Banyak berkata2 namun tanpa makna. Banyak teman namun sering kesepian.

Inilah akibat yang timbul apabila terlalu sering berganti topeng. Seperti di film ”The Mask”, yang meskipun topengnya memberikan kekuatan, namun pada akhirnya topeng tersebut menguasai jiwa si pemakainya. Membuat pemakainya kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Orang2 introvert memiliki kendali atas dirinya sendiri, namun seringkali mengalami penolakan oleh lingkungannya.

Orang2 ekstrovert dapat memiliki segalanya, kecuali satu, dirinya sendiri.

Kamis, 11 Februari 2010

Kategori intelegent

Kategori intelegent yang diusulkan oleh Howard Gardner adalah:

1. Kecerdasan linguistik

Adalah kecerdasan dalam mengolah kata. Ini merupakan kecerdasan para jurnalis, juru cerita, penyair, dan pengacara. Jenis kecerdasan inilah yang menghasilkan King Lear karya Shakespeare, Odysey karya Homeros, dan Kisah Seribu Satu Malam dari Arab. Orang yang cerdas dalam bidang ini dapat berargumentasi, meyakinkan orang, menghibur, atau mengajar dengan efektif lewat kata-kata yang diucapkannya. Mereka senang bermain-main dengan bunyi bahasa melalui teka-teki kata, permainan kata (pun), dan tongue twister. Kadang-kadang mereka pun mahir dalam hal-hal kecil, sebab mereka mampu mengingat berbagai fakta. Bisa jadi mereka adalah ahli sastra. Mereka gemar sekali membaca, dapat menulis dengan jelas, dan dapat mengartikan bahasa tulisan secara jelas.

2. Kecerdasan logis-matematis

Adalah kecerdasan dalam hal angka dan logika. Ini merupakan kecerdasan para ilmuwan, akuntan, dan pemrogram komputer. Newton menggunakan jenis kecerdasan ini ketika ia menemukan kalkulus. Demikian pula Einstein ketika ia menyusun teori relativitasnya. Ciri-ciri orang yang cerdas secara logis-matematis mencakup kemampuan dalam penalaran, mengurutkan, berpikir dalam pola sebab akibat, menciptakan hipotesis, mencari keteraturan konseptual atau pola numerik, dan pandangan hidupnya umumnya bersifat rasional.

3. Kecerdasan spasial

Adalah kecerdasan yang mencakup kemampuan berpikir dalam gambar, serta kemapuan untuk mencerap, mengubah, dan menciptakan kembali berbagai macam aspek dunia visual-spasial. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan para arsitek, fotografer, artis, pilot, dan insinyur mesin. Siapa pun yang merancang piramida di Mesir, pasti mempunyai kecerdasan ini. Demikian pula dengan tokoh-tokoh seperti Thomas Edison, Pablo Picasso, dan Ansel Adams. Orang dengan tingkat kecerdasan spasial yang tinggi hampir selalu mempunyai kepekaan yang tajam terhadap detail visual dan dapat menggambarkan sesuatu dengan begitu hidup, melukis atau membuat sketsa ide secara jelas, serta dengan mudah menyesuaikan orientasi dalam ruang tiga dimensi.

4. Kecerdasan musikal

Adalah kecerdasan yang ditandai dengan kemampuan untuk mencerap, menghargai, dan menciptakan irama dan melodi. Bach, Beethoven, atau Brams, dan juga pemain gamelan Bali atau penyanyi cerita epik Yugoslavia, semuanya mempunyai kecerdasan ini. Kecerdasan musikal juga dimiliki oleh orang yang peka nada, dapat menyanyikan lagu dengan tepat, dapat mengikuti irama musik, dan yang mendengarkan berbagai karya musik dengan tingkat ketajaman tertentu.

5. Kecerdasan kinestetik-jasmani

Adalah kecerdasan fisik, yang mencakup bakat dalam mengendalikan gerak tubuh, dan keterampilan dalam menangani benda. Atlet, pengrajin, montir, dan ahli bedah mempunyai kecerdasan kinestetik-jasmani tingkat tinggi. Demikian pula Charlie Chaplin, yang memanfaatkan kecerdasan ini untuk melakukan gerakan tap dance sebagai “Little Tramp”. Orang dengan kecerdasan fisik memiliki keterampilan dalam menjahit, bertukang, atau merakit model. Mereka juga menikmati kegiatan fisik, seperti berjalan kaki, menari, berlari, berkemah, berenang, atau berperahu. Mereka adalah orang-orang yang cekatan, indra perabanya sangat peka, tidak bisa tinggal diam, dan berminat atas segala sesuatu.

6. Kecerdasan antarpribadi

Adalah kemampuan untuk memahami dan bekerjasama dengan orang lain. Kecerdasan ini terutama menuntut kemampuan untuk mencerap dan tanggap terhadap suasana hati, perangai, niat, dan hasrat orang lain. Direktur sosial sebuah kapal pesiar harus mempunyai kecerdasan ini, sama halnya dengan pemimpin perusahaan besar. Seseorang yang mempunyai kecerdasan antarpribadi bisa mempunyai rasa belas kasihan dan tanggungjawab sosial yang besar seperti Mahatma Gandhi, atau bisa juga suka memanipulasi dan licik seperti Machiavelli. Namun mereka semua mempunyai kemampuan untuk memahami orang lain dan melihat dunia dari sudut pandang orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi networker, perunding, dan guru yang ulung.

7. Kecerdasan intrapribadi

Adalah kecerdasan dalam diri sendiri. Orang yang kecerdasan intrapribadinya sangat baik dapat dengan mudah mengakses perasaannya sendiri, membedakan berbagai macam keadaan emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri untuk memperkaya dan membimbing hidupnya. Contoh orang yang mempunyai kecerdasan ini, yaitu konselor, ahli teologi, dan wirausahawan. Mereka sangat mawas diri dan suka bermeditasi, berkontemplasi, atau bentuk lain penelusuran jiwa yang mendalam. Sebaliknya, mereka juga sangat mandiri, sangat terfokus pada tujuan, dan sangat disiplin. Secara garis besar, mereka merupakan orang yang gemar belajar sendiri dan lebih suka bekerja sendiri daripada bekerja dengan orang lain.

(sumber: Atosokhi, A.G, dkk. (2003). Character Building I: “Relasi Dengan Diri Sendiri”. Elex Media Komputindo. Jakarta. hal 54-57)

Tambahan

1. Kecerdasan naturalistik

Adalah kecerdasan yang berhubungan dengan alam: memelihara dan informasi yang terkait ke salah satu lingkungan alami. Jenis kecerdasan ini bukan bagian asli dari Gardner teori Multiple Intelligences, tapi ditambahkan di teorinya pada tahun 1997. Mereka yang itu dikatakan memiliki kepekaan yang lebih besar untuk alam dan tempat mereka di dalamnya, kemampuan untuk memelihara, dan lebih mudah dalam merawat, menjinakkan dan berinteraksi dengan hewan. Mereka mungkin juga dapat melihat perubahan dalam fluktuasi cuaca atau serupa dalam lingkungan alam mereka. Mereka juga pandai mengenali dan mengklasifikasi spesies yang berbeda. Mereka harus menghubungkan pengalaman baru dengan pengetahuan sebelum benar-benar belajar sesuatu yang baru. Tipe “Naturalis” belajar paling baik jika subjek melibatkan pengumpulan dan analisis, atau terkait erat dengan sesuatu yang menonjol di alam, mereka tidak menikmati belajar tanpa koneksi dengan alam. Tipe naturalistik lebih banyak belajar melalui berada di luar rumah atau di jalan (kinestetik). Teori di balik kecerdasan ini sering dikritik, sangat mirip dengan spiritual atau kecerdasan eksistensial, seperti yang dilihat oleh banyak orang sebagai tidak menunjukkan intelijen melainkan minat. Namun, hal itu tetap merupakan kecerdasan yang sangat diperlukan bagi manusia yang hidup hampir seluruhnya dari alam seperti beberapa penduduk pribumi.

2. Kecerdasan eksistensial

Adalah kecerdasan yang berhubungan dengan proses penciptaan kehidupan. Kecerdasan yang menjawab keberadaan makhluk hidup di dunia, dan bagaimana terjadi proses kehidupan. Kecerdasan ini sering dikaitkan dengan teologi.

 

Riska Ayudya Pratiwi. Design By: SkinCorner